Rabu, 01 September 2010

PANDANGAN HUKUM MASALAH REMISI DAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI TERPIDANA KORUPSI DAN TERORISME

Baru-baru ini ada yang diberikan Remisi terhadap Narapidana Aulia Pohan besan Presiden RI dengan teman-temannya dari Bank Indonesia yang terkait dengan kasus Korupsi. Masyarakat banyak memberikan pandangan bahwa bagi yang diputus Pengadilan terkait kasus korupsi dan terorisme tidak layak diberikan Remisi, tindakan tersebut menciderai perasaan masyarakat Indonesia, Pemerintah/ Negara dituding tidak serius memberantas korupsi yang kondisinya sudah parah, dan disisi lain bangsa Indonesia masih banyak yang miskin, dan reaksi masyarakat tersebut disampaikan begitu keras.
Pemberian remisi tersebut sudah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu : a. Remisi adalah hak narapidana berupa pengurangan masa hukuman yang diatur dalam Pasal 1 ayat 1 Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 tentang REMISI; b. Pembebasan Bersyarat merupakan pengurangan hukuman bagi narapidana yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) KUHP yang intinya orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah lalu 2/3 bagian dari hukumannya yang sebenarnya dan juga paling sedikit 9 bulan daripada itu, dengan kata lain sudah menjalani 2/3 dari masa tahanan. Dalam ketentuan atas pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tidak ada menyebutkan jenis perbuatan yang dilakukan narapidana baik kejahatan pencurian, pembunuhan, korupsi atau terorisme, remisi dan pembebasan bersyarat tersebut secara umum diberikan kepada siapapun tanpa ada perkecualian. Berdasarkan ketentuan tersebut dikaitkan azas persamaan hak didepan hukum, maka pemberian remisi bagi narapidana terkait kasus korupsi dan terorisme dapat diberikan demi persamaan kedudukan di depan hukum, dengan demikian pemberian remisi kepada narapidana Aulia Pohan dan dkk sudah sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Pernyataan Masyarakat dalam penolakan pemberian remisi kepada narapidana bertalian perbuatan korupsi dan terorisme yang dianggap menciderai hati masyarakat, hal tersebut baru tahap pernyataan dan belum bisa digunakan sebagai dasar dalam menolak memberikan remisi bagi narapidana yang terkait kasus korupsi dan terorisme, dan malah bila dilaksanakan penolakan pemberian remisi sebelum adanya ketentuan perundangan-undangan baru yang mengaturnya, bertentangan dengan azas Legalitas (suatu perbuatan baru dapat dihukum apabila perbuatannya sudah diatur terlebih dahulu dalam ketentuan peraturan perundang-undangan).
Untuk dapat melakukan penolakan pemberian remisi bagi narapidana terkait kasus korupsi dan terorisme terlebih dahulu dilakukan perubahan atas ketentuan yang mengatur masalah remisi dan pembebasan bersyarat tersebut yang diundangkan dalam Lembaran Negara Indonesia, dengan demikian aparat yang berwenang memberikan remisi dan pembebasan bersyarat ada dasar hukumnya.
Demikianlah pandangan penulis atas tema remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana terkait kasus korupsi dan terorisme, bila tidak sependapat dianggap sebagai perbedaan pendapat yang dilindungi Negara, dan bila ingin diskusi dengan penulis dapat menghubungi.

Jakarta, 31 Agustus 2010
Penulis

Monang Siahaan, SH. MM.

SANKSI YANG TEPAT BAGI ANGGOTA DPR RI YANG MELAKUKAN KORUPSI WAKTU

Sering kita mendengar lewat media massa baik lewat surat kabar maupun berita di Televisi, dan tadi pagi dalam berita TV one jam 05.00 wib hari Selasa tgl. 31 Agustus 2010 memperlihatkan ruang sidang dari sekitar 500 anggota DPR RI hanya dihadiri sekitar 320 orang, dan sekitar 180 orang lebih tidak ikut menghadiri sidang (mendengar berita tersebut hanya sepintas lalu dan tidak mengetahui sidang untuk apa), dan hal tersebut anggota DPR RI banyak yang tidak masuk kantor atau terlambat masuk kantor sudah sering kita dengar berulang-ulang dan kerapkali dimuat di Mass Media sebagai sanksi sosial tetapi anggota DPR RI tidak menggubrisnya atau tidak menanggapinya, melihat situasi tersebut sering membuat jengkel masyarakat, dan mereka bisa duduk dikursi DPR RI karena dipilih rakyat dan gajinya dari uang rakyat, yang mengharapkan memikirkan kepentingan rakyat, belum lagi sering kita melihat anggota DPR RI dari latar belakang selebriti baik sebagai pemain sinertron, pemandu acara di TV dan lain-lain masih melakukan kegiatan tersebut pada hal menurut ketentuan tidak boleh lagi bekerja diluar untuk menambah penghasilan, sebab gaji sebagai anggota DPR RI sudah dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhannya, diharapkan supaya memusatkan perhatiannya untuk memimikirkan kepentingan rakyat.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu dicari jalan yang tepat mengenai korupsi waktu tersebut, sering aparat pemerintah dan anggota DPR RI melakukan korupsi waktu dalam bentuk tidak masuk atau terlambat masuk kerja, tetapi bagaimana menerapkan sanksi korupsi waktu tersebut dalam bentuk sanksi yang dapat diterapkan kepada anggota DPR dan Aparat Pemerintah yang membawa efek jera kepada pihak yang melakukannya. Dalam tulisan ini sengaja membahasnya bertalian dengan DPR RI untuk mengetahui perbuatan korupsi dengan kerugian Negara yang dapat diberikan sanksi / hukuman dalam arti anggota DPR RI tidak masuk kantor tanpa alasan yang dapat diterima sebaliknya tidak masuk kantor karma alasan yang dapat diterima antara lain sakit dll yang didukung dengan surat keterangan sakit dan surat lain yang dianggap sah tidak dihitung atau dianggap masuk kerja sehingga gajinya tidak dikenakan denda, maka penerapan korupsi waktu dikaitkan hukuman berupa denda/potong gaji sebagai berikut : yaitu seorang anggota DPR RI berpenghasilan dari Negara tiap bulannya Rp. 40.000.000, kemudian dibagi 20 hari kerja, dibagi lagi 8 jam kerja, jadi Rp. 40.000.000 (penghasilan dari Pemerintah) : 20 hari kerja = Rp. 2.000.000 perhari, Rp. 2.000.000 : 8 jam = Rp. 250.000 perjam, Rp.250.000 : 0,5 jam = Rp. 125.000 persetengah jam, dengan demikian penghasilan DPR RI sebagai berikut :
a. Perbulan = Rp. 40.000.000,-
b. Perhari = Rp. 2.000.000,-
c. Perjam = Rp. 250.000,-
d. Persetengah jam = Rp. 125.000,-

Dalam menjatuhkan sanksi kepada anggota DPR RI dikaitkan dengan penghasilannya sebagai berikut :
a. terlambat tiap pagi 2 jam, atau terlambat 1 jam dan lebih cepat pulang 1 jam maka tidak masuk kerja 2 jam setiap bulan, maka 2 jam x 20 hari kerja = 40 jam x Rp.250.000,- perjam = Rp. 10.000.000 hukuman dendanya dalam satu (1) bulan, bendahara langsung memotong dari gajinya selanjutnya disetorkan ke Kas Negara.
b. terlambat tidak masuk kantor tidak beraturan kadang hari senin 3 jam, minggu berikutnya hari rabu 2 jam, kamis 1 jam seluruhnya 6 jam tidak masuk kantor dalam satu (1) bulan, maka 6 jam x 250.000 = Rp. 1.500.000,- hukuman dendanya dalam satu (1) bulan, dan hukuman denda tersebut langsung dipotong oleh bendaharawan didasarkan dengan absensinya serta diperkuat dengan data-data lainnya yang kemudian dendanya tersebut disetorkan ke Kas Negara.

Sarana untuk mengetahui anggota DPR RI masuk tidaknya kerja dalam satu bulan secara akurat,dilengkapi dengan abasen sistim mesin yaitu menggunakan nomor Pin dan sidik jari atau telapak tangan, dengan cara mesin ini anggota DPR RI tidak bisa memalsukan absensinya dan juga tidak bisa menitipkan mengisi absensinya kepada orang lain karena sidik jari/telapak tangan tidak bisa dibohongi atau ditiru, dengan demikian hanya anggota DPR RI itu sendiri yang dapat mengisi absensinya, cara ini sudah diterapkan di Kejaksaan Agung RI dan sudah berjalan dengan baik. Hal ini perlu dilakukan/diterapkan kepada semua anggota DPR RI.
Pada umumnya Ketua DPR RI, Ketua Komisi berat memberikan sanksi/tegoran kepada anggotanya karena :
a. mengingat anggota DPR RI pada umumnya sudah berumur atau rata-rata diatas 45 tahun dianggap sudah tidak pantas dinasehati, hanya disebabkan terlambat masuk kantor, tetapi dengan penerapan absensi dengan sarana mesin tersebut tidak perlu di tegor lagi, cukup disodorkan absensinya yang telah mencatat berapa jam yang bersangkutan tidak masuk kerja dalam satu (1) bulan.
b. Setiap anggota DPR RI kedudukannya sama yaitu sama-sama memiliki satu (1) suara, hal ini yang penting di DPR RI dalam mengambil keputusan terkait dengan suara terbanyak.

Dalam menerapkan sanksi tersebut ,dimana adanya beberapa sanksi yaitu :
a. Sanksi Administrasi .
Sanksi Administrasi berupa penjatuhan hukuman dalam bentuk RINGAN berupa tegoran lisan dan SEDANG dengan penurunan gaji berkala serta BERAT dalam bentuk turun pangkat, pencabutan jabatan, dipecat dengan hormat atau dipecat dengan tidak hormat. Sanksi administrasi ini lebih tepat diterapkan bagi aparat Pegawai Negeri, karena hukuman yang dijatuhkan tersebut walaupun nilainya kurang besar tetapi sangat besar pengaruhnya dalam promosi jabatan dan mengikuti pendidikan, hal ini terkait aparat pemerintah bekerja diinstansi tersebut sampai pesiun yang ingin mengejar karirnya dengan baik, dan saksi administrasi tersebut tidak tepat diterapkan kepada anggota DPR RI.
b. Sanksi Denda atau dilaporkan kepada KPK.
Anggota DPR RI yang tidak masuk kerja sesuai dengan absensi mesin, pertama diterapkan dengan sanksi denda memotong gajinya, dan bila Anggota DPR RI tersebut keberatan dipotong gajinya, maka anggota DPR RI tersebut dilaporkan kepada KPK dengan tuduhan melakukan perbuatan korupsi. Sanksi tersebut lebih tepat diterapkan kepada anggota DPR RI dengan alasan sebagai anggota DPR RI sifatnya sementara hanya 5 (lima) tahun kerja dan belum tertu terpilih untuk periode berikutnya, dan kemungkinan besar anggota DPR RI akan memilih diterapkan sanksi hukuman denda dengan potong gaji.

Penerapan sanksi atas perbuatan korupsi, hanya jika seandainya anggota DPR RI memilih penyelesaian masalahnya dilaporkan KPK, maka perbuatan korupsi tersebut dapat didakwakan pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau pasal 3 UU No. 31 tahun 1999, tetapi yang lebih tepat diterapkan pasal 3 UU No.31 tahun 1999 karna dalam unasur ketiga mengandung menguntungkan diri sendiri dan berapapun yang diperoleh dari perbuatan korupsi terbut yang penting menguntungkannya, sedangkan dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 ada unsur memperkaya dirisendiri atau orang lain, dengan kata memperkaya tersebut relatif karena korupsi Rp. 500.000.000 tersangkanya merasa tidak memperkaya dirinya dan sedikit lebih sulit dibuktikan dipersidangan. Dalam penerapan pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 secara singkat sebagai berikut :
a. Barang siapa yaitu yang melakukan perbuatan korupsi tersebut.
b. Menyalahgunakan kewenangan, yaitu terdakwa / yang bersangkutan tidak masuk kantor sesuai dengan absensi selama 40 jam x Rp. 250.000 = Rp. 10.000.000 dan hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Nomor xxx tanggal xxx tentang jam masuk kerja, maka unsur b tersebut telah terbukti.
c. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Yaitu terdakwa tidak masuk kerja selam 40 jam x Rp.250.000= Rp.10.000.000,- maka terrdakwa telah menguntungkan dirinya sendiri sebesar Rp.10.000.000,-, atau setidak-tidaknya sekitar tersebut, dengan demikian unsur ketiga telah terbukti.
d. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu terdakwa telah dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp.10.000.000,-,dengan demikian unsur keempat ini telah terbukti. Dalam unsur keempat ini ada kata dapat hal ini maksudnya tidak perlu dibuktikan negara bangkrut dengan uang yang dikorupsi sebesar Rp.10.000.000,- .

Berdasarkan hal tersebut di atas, apakah dapat diterapkan sanksi Denda atau dilaporkan kepada KPK untuk diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, menurut pendapat penulis hal tersebut dapat diterapkan kepada anggota DPR RI yang tidak masuk kerja sesuai ketentuan dengan alasan a. perbuatan tersebut bertalian dengan keuangan negara atau merugikan keuangan negara atau uang rakyat,dan dalam Undang–Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sifatnya umum yang intinya perbuatan tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan merugikan keuangan negara serta menguntungkan diri sendiri atau orang lain  b. bertentangan dengan rasa keadilan. Mengenai penerapan tersebut diserahkan kepada aparat penegak hukum bisa atau tidaknya sanksi tersebut diterapkan kepada anggota DPR RI.
Bertalian dengan hal tersebut disarankan agar diterapkan sanksi point b mengenai hukuman denda atau dilaporkan kepada KPK, dengan demikian anggota DPR RI akan tertib masuk kerja sesuai ketentuan yang berlaku.
Demikianlah pandangan penulis atas tema ”Sanksi Yang Tepat Bagi Anggota DPR RI Yang Melakukan Korupsi Waktu”, seandainya tidak sepaham dengan penulis anggap saja sebagai perbedaan pendapat yang dilindungi Negara, dan bila ingin diskusi dengan penulis dapat menghubungi HP. 08123762705 dan 085781281601.

Jakarta, 1 September 2010
Penulis,


MONANG SIAHAAN, SH., MM.

RENTENIR PENOLONG PEDAGANG KECIL DI PASAR TRADISIONAL

Berdasarkan Alkitab Kristen bahwa meminjamkan uang tidak diperbolehkan apalagi ada hubungan dengan keluarga. Demikian juga sering saya mendengar, di dalam Al-Qur’an bahwa meminjamkan uang adalah riba dalam arti mencari tambahan karena mencari lebih dan bertentangan dengan ajaran agama. Dalam kedua agama tersebut hanya disebut tidak boleh meminjamkan uang sama sekali tanpa menyebut persennya. Dengan kata lain meminjamkan uang dengan bunga 1/2%, 1%, 10%, 20% tidak ada ditegaskan, yang jelas berapa persen pun membungakan uang haram hukumnya.
Di dalam kenyataannya, untuk membangun ekonomi rakyat, pemerintah membuka bank-bank besar dan kecil yang dikoordinir oleh Bank Indonesia dengan sistem bunga, dimana bunganya bervariasi besarnya. Demikian juga akhir-akhir ini sebagian besar masyarakat yang beragama Islam telah membangun bank syariah dengan sistem bagi hasil.

Keuntungan Masing-masing Pihak
Dalam usaha dagang, pedagang kecil yang kerap kita jumpai di pasar tradisional dengan memperoleh pinjaman dengan bunga yang cukup tinggi sebesar 20% dari pihak rentenir, dalam artian membungakan uang dengan jumlah laba yang besar. Hal tersebut perlu kita amati mengenai soal pinjam meminjam dimana ada 2 (dua) pihak yang terlibat di dalamnya yaitu pihak peminjam (pemilik uang) dan pihak yang meminjam. Kita dapat melihat perputaran uang dari kedua belah pihak, yaitu :
1. Dari sisi Si Pemilik Uang
Pihak pemilik uang, bila meminjamkan uang Rp. 100.000,- dengan bunga 20% kepada pedangan kecil di pasar tradiosional maka Si Pemilik modal memperoleh keuntungan Rp. 20.000 per bulan yang harus dilunasi modal beserta bunga setiap bulan Rp. 4.000,- yaitu Rp. 100.000 + Rp. 20.000 (bunga 20%) : 30 hari = Rp. 4.000,- per hari, maka si peminjam uang menerima pembayaran /setoran Rp. 4.000,- per hari.

2. Dari sisi Si Peminjam
Pedagang soto setiap harinya biaya operasionalnya Rp. 100.000,- dengan keuntungan rata-rata Rp. 20.000 - Rp. 25.000 perhari, di rata-ratakan memperoleh hasil Rp. 20.000,- per hari. Dengan demikian Rp. 20.000 – Rp. 4.000 (pengembalian modal + bunga) = Rp. 16.000,- dengan demikian si Peminjam uang memperoleh Rp. 16.000,- per hari dan per bulannya Rp. 16.000 x 30 hari = Rp. 480.000,- per bulan. Dengan demikian keuntungan si peminjam uang disamping modal yang dia pinjam Rp. 100.000,- ditambah keuntungan Rp. 480.000,- = Rp. 580.000,- selama satu bulan.

3. Melihat hal tersebut diatas dimana penghasilan si peminjam uang setiap bulannya sebesar Rp 580.000,- sedangkan si pemilik uang/rentenir penghasilannya Rp. 20.000,- per bulan.
Berdasarkan perbandingan penghasilan tersebut apakah si pemilik uang/rentenir dapat dikategorikan rentenir sebagai penghisap darah dan tidak berperikemanusiaan atau sebagai penolong ekonomi pedagang kecil?

Peranan Pemerintah
Peranan pemerintah dalam membangun pedagang ekonomi kecil di pasar tradisional hampir tidak ada. Pemerintah hanya membantu pengusaha ekonomi menengah ke atas yang dapat memberikan jaminan sebagai agunan, sedangkan masyarakat pedagang kecil di dalam meminjam uang pada bank-bank pemerintah jarang yang dipenuhi prosesnya berbelit-belit dan harus ada agunan sebagai jaminan, dan masalah ini yang paling sulit dipenuhi pedagang kecil, yang pada umumnya tidak memiliki agunan, kadang-kadang menyatakan bilamana ada agunan lebih baik dijual untuk digunakan modal. Melihat hal tersebut pemerintah hanya memperhatikan pengusaha ekonomi menengah ke atas tanpa memperhatikan masyarakat kecil yang ekonominya lemah yang pantas dibantu oleh pemerintah.
Sebenarnya, bila pemerintah memperhatikan pedagang kecil di pasar tradisional dengan menyalurkan kredit dengan bunga rendah antara 3-5% per bulan dan tanpa agunan dengan sendirinya rentenir yang berkembang di pasar tradisional akan hilang, tetapi kenyataannya ketidakhadiran pemerintah dalam membantu pedagang kecil maka tumbuh subur rentenir di pasar tradisional.

Peranan Rentenir
Pedagang kecil yang ekonominya lemah yang banyak berusaha di pasar tradisional pada umumnya memperoleh bantuan kredit lewat rentenir dengan bunga 20% yang cara memperolehnya sangat mudah yaitu prosesnya cepat tanpa ada agunan dan setiap saat dapat memperoleh pinjaman tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini sering terjadi pada saat tahun ajaran baru sekolah yang membutuhkan biaya untuk masuk sekolah dengan biaya cukup besar rata-rata antara 3-5 juta rupiah. Sedangkan pedagang ekonomi kecil di pasar trdisional baik sebagai pedagang kelontong, pedagang sayur, pakaian, rata-rata memiliki modal sekitar 10 juta rupiah. Bila uang 5 juta tersebut diambil untuk memenuhi kebutuhan sekolah anaknya dan lain-lain akan mengurangi modal sebesar 5 juta rupiah dan jumlah barang yang dijual tinggal sedikit, yang berakibat pembelinya akan berkurang dan terakhir bangkrut. Tetapi dengan kehadiran rentenir di tengah-tengah pedagang kecil permasalahan biaya masuk sekolah dan lain-lain dapat diatasi yang malah menambah modal/kekayaan bagi si pedagang kecil sebagaimana kami jelaskan di atas.
Berdasarkan hal tersebut, pihak rentenir secara tidak langsung yang membangun ekonomi pedagang kecil yang keberadaannya sangat dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat.

Pandangan Negatif
Pihak rentenir banyak juga cemoohan yang dituduh sebagai lintah darat, dan bertindak tidak manusiawi dengan mengambil barang si peminjam bila angsurannya tidak di bayar. Langkah rentenir tersebut bisa dipahami mengingat memberikan pinjaman tanpa agunan demi kelangsungan usahanya. Dalam membicarakan pedagang kecil sifatnya yang positif dalam arti memperoleh keuntungan dan jangan mempermasalahkan dari sudut resiko, karena setiap usaha ada resikonya. Dengan menyadari hal tersebut tidak pada tempatnya mencemooh pihak rentenir yang bertindak kasar menurut penilaian si peminjam.

Pandangan Masyarakat Kecil
Pandangan masyarakat kecil ini, saya ambil satu contoh supir pribadi saya bernama Abbas. Saya minta pendapat apakah orang meminjamkan uang dengan bunga 20% yang disebut rentenir, bunga tersebut termasuk tinggi atau besar? dan lain-lain, jawabannya dia tidak mengetahui sistem bunga, tetapi dia memberikan pertanyaan bila seseorang meminjam uang 100 ribu rupiah atau satu juta rupiah berapa bunganya? Lalu saya jawab uang 100 ribu rupiah bunganya 20 ribu rupiah dan satu juta rupiah bunganya 200 ribu rupiah per bulan, lalu di jawab bunga tersebut dianggapnya wajar dan tidak tinggi.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pihak rentenir memberikan keuntungan besar kepada pedagang kecil di pasar tradisional.
2. Pihak rentenir secara umum membantu pedagang kecil dalam masalah permodalan yang diharapkan keberadaannya di masyarakat.
3. Pemerintah secara umum tidak membantu pedagang kecil yang banyak ditemukan di pasar tradisional.
4. Pemerintah hanya membantu pengusaha ekonomi menengah ke atas yang memiliki agunan sebagai jaminan.

Saran
Sesuai dengan kesimpulan tersebut di atas dapat disarankan sebagai berikut :
1. Pemerintah diharapkan tidak menindak pihak rentenir selama pemerintah belum dapat membantu pedagang kecil dari sudut permodalan atau dengan kata lain pemerintah memberikan kredit kepada pedagang kecil dengan bunga rendah guna menghilangkan rentenir di pasar tradisional.
2. Masyarakat kecil yang membutuhkan modal untuk berusaha agar memanfaatkan pihak rentenir dalam menjalankan roda perekonomiannya.
3. Masyarakat supaya menghilangkan pandangan negatif terhadap rentenir dengan tudingan penghisap darah/lintah darat.
4. Pihak rentenir jangan dipandang sebagai penghisap darah, cukup dilihat dari sudut bisnis/dagang untuk meningkatkan usahanya sendiri maupun si peminjam.
5. Pemerintah bila menganggap rentenir peranannya besar sebagai penolong ekonomi kecil di pasar tradisional agar memberikan ijin usaha yang sifatnya sederhana dalam menjalankan usahanya guna menghindari tindakan dari aparat dengan alasan tidak ada ijin.

Demikianlah pandangan kami bertalian dengan masalah rentenir penolong pedagang kecil di pasar tradisional, sebagai masukan dan semoga bermanfaat.

Jakarta, 30 Agustus 2010
Penulis

Monang Siahaan, SH. MM.