Rabu, 01 September 2010

PANDANGAN HUKUM MASALAH REMISI DAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI TERPIDANA KORUPSI DAN TERORISME

Baru-baru ini ada yang diberikan Remisi terhadap Narapidana Aulia Pohan besan Presiden RI dengan teman-temannya dari Bank Indonesia yang terkait dengan kasus Korupsi. Masyarakat banyak memberikan pandangan bahwa bagi yang diputus Pengadilan terkait kasus korupsi dan terorisme tidak layak diberikan Remisi, tindakan tersebut menciderai perasaan masyarakat Indonesia, Pemerintah/ Negara dituding tidak serius memberantas korupsi yang kondisinya sudah parah, dan disisi lain bangsa Indonesia masih banyak yang miskin, dan reaksi masyarakat tersebut disampaikan begitu keras.
Pemberian remisi tersebut sudah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu : a. Remisi adalah hak narapidana berupa pengurangan masa hukuman yang diatur dalam Pasal 1 ayat 1 Keputusan Presiden RI No. 174 Tahun 1999 tentang REMISI; b. Pembebasan Bersyarat merupakan pengurangan hukuman bagi narapidana yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) KUHP yang intinya orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah lalu 2/3 bagian dari hukumannya yang sebenarnya dan juga paling sedikit 9 bulan daripada itu, dengan kata lain sudah menjalani 2/3 dari masa tahanan. Dalam ketentuan atas pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tidak ada menyebutkan jenis perbuatan yang dilakukan narapidana baik kejahatan pencurian, pembunuhan, korupsi atau terorisme, remisi dan pembebasan bersyarat tersebut secara umum diberikan kepada siapapun tanpa ada perkecualian. Berdasarkan ketentuan tersebut dikaitkan azas persamaan hak didepan hukum, maka pemberian remisi bagi narapidana terkait kasus korupsi dan terorisme dapat diberikan demi persamaan kedudukan di depan hukum, dengan demikian pemberian remisi kepada narapidana Aulia Pohan dan dkk sudah sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Pernyataan Masyarakat dalam penolakan pemberian remisi kepada narapidana bertalian perbuatan korupsi dan terorisme yang dianggap menciderai hati masyarakat, hal tersebut baru tahap pernyataan dan belum bisa digunakan sebagai dasar dalam menolak memberikan remisi bagi narapidana yang terkait kasus korupsi dan terorisme, dan malah bila dilaksanakan penolakan pemberian remisi sebelum adanya ketentuan perundangan-undangan baru yang mengaturnya, bertentangan dengan azas Legalitas (suatu perbuatan baru dapat dihukum apabila perbuatannya sudah diatur terlebih dahulu dalam ketentuan peraturan perundang-undangan).
Untuk dapat melakukan penolakan pemberian remisi bagi narapidana terkait kasus korupsi dan terorisme terlebih dahulu dilakukan perubahan atas ketentuan yang mengatur masalah remisi dan pembebasan bersyarat tersebut yang diundangkan dalam Lembaran Negara Indonesia, dengan demikian aparat yang berwenang memberikan remisi dan pembebasan bersyarat ada dasar hukumnya.
Demikianlah pandangan penulis atas tema remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana terkait kasus korupsi dan terorisme, bila tidak sependapat dianggap sebagai perbedaan pendapat yang dilindungi Negara, dan bila ingin diskusi dengan penulis dapat menghubungi.

Jakarta, 31 Agustus 2010
Penulis

Monang Siahaan, SH. MM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar